Saturday, May 23, 2009

Setiap kebaikan itu ubat hati

Di suatu pasar Sabtu, seorang lelaki separuh baya sedang asyiknya menjelajah di segenap pasar mencari apa yang diingini. Sempat ia mencicipi semangkuk laksa di sebuah warung yang biasanya memang setia menunggu pelanggan di tepi jalan pekan kecil itu. Seusai menikmati hidangannya, ia meredah gerai-gerai pedagang bergerak yang menjadualkan operasi mereka setiap Sabtu di pekan tradisi itu.

Sampailah lelaki itu di sebuah gerai yang menjual berbagai macam jeruk berupa pala ketul, pala hiris, salak dan buah-buahan lainnya. Ia teringat yang isterinya tak pernah lupa memesan manisan pala setiap kali ada peluang ke Pulau Pinang. Dah tentulah yang ada di depan mata tak boleh dilepaskan.

Selepas mengumpulkan 3 bungkus yang berharga RM2.50 serba satu, maka dihulurkanlah RM 50 kepada wanita yang menjualnya. Begitu dia dapat balik bakinya sebanyak RM 40.00 sempat juga dia menegur bakinya kurang RM2.50. Tanpa berdolak-dalik wanita itu pun menghulurkan tambahan wang yang diminta. Tanpa merasa apa-apa yang janggal lelaki itu meneruskan penelusurannya di antara baki gerai yang belum sempat dikunjunginya sehinggalah saat hendak memutuskan masanya untuk kembali ke rumah dia tiba-tiba terfikir untuk mengira kembali jumlah bungkusan yang terdapat di dalam plastik tadi. Persoalan kenapa dari tadi rasa tidak sedap di hati menjinjing plastik yang berisi makanan kegemaran isterinya itu sempat menjengah di hati tiba-tiba terjawab.

"Ya Allah ! Ada 4 bungkus rupanya. Patutlah penjual tu kira RM 10.00," bisik hatinya.

Pling ! Sang pembisik was-was itu mulai memainkan peranannya seraya menyambung bisikan, "Alaah ! Apalah nak disibukkan sangat dengan barang terlebih yang bernilai HANYA RM 2.50 tu ? Rasanya tuan punyanya pun bukannya kisah sangat. Dah le engkau kena berjalan jauh nak balik ke gerai dia tu. Kenderaan kau depan mata tu aja. Isteri dah tunggu nak balik. Tak berbaloilah."

Nuraninya menyentak,"Ini bukan pasal nilai duit. Ini persoalan nilai diri di hadapan Rabb. Takkanlah kerana RM 2.50 yang tak mungkin menjadikan kita kaya mengejut tu pun kita nak tanggung dosa yang tak sepadan? Lagi pun besar nilainya kalau si penjual tu dapat balik barang dia. Dia tadi mungkin merasa yang dia betul tapi dek nak jaga hati pelanggan, dia tak protes, bahkan tak buat apa-apa punnak mengira balik barang dia. Bila dapat barang dia, dia mesti ada rasa yang kerugiannya meskipun kecil telah tertutup semula. Dari sudut dakwah pula, bila kita tunjukkan kita boleh jadi pembeli yang jujur, hatinya mungkin akan terbuka untuk sentiasa menjadi peniaga yang jujur. Kan ke besar kesannya tu ?"

Serta merta jaguh wiswas tu didepaknya sampai KO. Ini bukannya urusannya dengan tukang wiswas, tapi urusannya dengan Allah. Walau pun semua keadaan lojiknya tidak mendukung dia untuk kembali berjalan jauh ke gerai yang dia dah tersilap bayar tu, bicara hati nurani di bawah bimbingan Ilahi telah memberinya kekuatan untuk melakukan hal yang mungkin dianggap oleh ramai orang tak perlu nak pening-pening.

Begitu barang yang terlebih dihantar balik kepada tuan punya, beban hati yang berat ditekan oleh barang yang ringan itu umpama melepaskan beban tak tertanggung yang sudah lama dipikul. Legaaaaa ! Dapat pahala atau tidak itu urusan Allah.

Ini mungkin peristiwa kecil yang hanya melibatkan kebaikan-kebaikan yang kelihatan kecil tapi jika dikira-kira sepanjang hayat kita, berapa banyakkah kesempatan yang Allah beri kepada kita untuk melakukan kebaikan kecil ini sepanjang hayat ? Kalau kebaikan yang kecil pun boleh memberi kelegaan yang begitu banyak, bagaimana pula dengan kebaikan yang menuntut kita berkorban lebih banyak dari sekadar melawan nafsu tahap ringan, berjalan hanya beberapa ratus meter, mengeluarkan keringat yang tak sampai pun memenuhi satu sudu ?

Lelaki itu belajar dari peristiwa kecil itu meskipun pada usia yang sudah setengah baya dan sudah banyak peristiwa umpama itu dilaluinya. Alangkah sia-sia amal ma'ruf yang selama ini dikumpulkan jika dalam peristiwa kecil dan nilai bendanya yang secuil itu ia tewas kepada ajakan nafsu.

Maka selagi ada peluang membuat deposit pahala yang kecil jangan lepaskan peluang itu. Ia ubat hati yang paling mujarab menghadapi keuzuran jasmani yang kian dimakan waktu.

Wednesday, May 13, 2009

Jump start on Futures Studies at UTP

A presentation by Bro. Riduan Tony Lim Abdullah, a lecturer at UTP's Mgmt & Humanities (M&H)is an eye-opening one for me. Being someone who like to read on philosophical subjects, Futures Studies could be the next extension of my interest. Actually, other than surface reading of futuristic works of Huntington, Naisbit, Toffle in the 90s, I have never thought of Futures Studies as a discipline by itself.

In the presence of other lecturers of M&H Dept, I have the chance to interact with the experienced especially Prof Murad whose profile I admired. While presenting his points, Bro. Riduan has stimulated the audience to explore more of Future Studies as a new potential field in UTP. The fact that I am not myself a lecturer does not stop me from making myself an active part of the discource.

Some points worth to note :
- Futures Studies (FS) has been a discipline in developed nations and possible, probable and preferred future in significant number events has taken place in accordance to the results of researches in Future Studies.
- Experts in FS has influenced many important policies and decision-makings at the highest government levels as well as globally.
- Future is an extension of the past.
- Prof Murad shared the idea of circular evolution of the past, present and future as being the theory put forward by Ibnu Arabi and Jalaluddin ar-Rumi. Based on that theory, past, present and future are not view as linear especially in the religious context.
- Among the popular methodologies in FS research is the Delphi method.
- Futures, as it connotes, should be seen as possibilities/probalities of many future events, not singular, based on the past and current scenario.
- Many reputable higher learning institutions has taken FS seriously due to the important role of FS experts in helping to guide the direction of other disciplines of study to encounter future events. So, basically, FS is an inter-disciplinary field that is accomodative of whatever background a researcher was earlier trained in.
- A question poised by Puan Khalidah of whether is significant difference between economic planning and FS is quite bugging. I think Bro Riduan has handled that question accurately by poniting out there may be similarities between the economic planning from the economists point of view where the two disciplines intersect but being a holistic/encompassing approach studying the future, FS does not equate economic planning as a whole.
- The intriguing question about FS is about where the FS graduate can apply their field of specialty is so much influenced by the commercialisation of knowledge nowadays. I think Mr Asriddin has pointed out a good argument when he mentioned that the problem arises when people tend to tied up learning and job prospects. In my opinion, that is where intellectual capacity is kept captive. People lose interest in anything that shows no monetary return to them. I am not surprised to hear such a pragmatic way of questioning for reason that a field FS promise no future for the enthusiast due to the present trend of learning in Malaysia.

As for UTP, I personally feel that FS should be at least a subject to learn. It will be more interesting if is a programme offered at PG level to support UTP's TP to accelerate the UTP's phase in achieving full-pledged RU status.

I believe everyone in the room enjoyed the mind-boggling discussion and I hope to have opportunity to be part of any similar discourse in the future.

Thanks, Bro Riduan, Prof Murad and all my colleagues in M&H.

Mencabar Keutuhan Rasm Uthmani

Cara-cara serangan terhadap Mushaf Uthmani

Oleh: Dr. Ugi Suharto *


Hidayatullah.com--Untuk menyerang dari sisi periwayatan, mereka terpaksa menggunakan senjata ulumul hadith agar riwayat yang awalnya tertolak dapat diterima kembali. Ulama hadith tentu tidak berdiam diri, kerana sejak dahulu mereka memang telah memberi sumbangan besar dalam menjaga keutuhan al-Quran. Kerana mushaf ini disandarkan pada riwayat yang mutawatir, serangan ini tidak akan mampu merosak Mushaf Uthmani. Apalagi usaha mereka melalui cara ini paling jauh hanya mampu mengangkat kedudukan riwayat syadz (yang menyimpang) menjadi ahad. Itupun dengan syarat riwayat itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran Mushaf Utsmani lainnya.


Kalau usaha itu berhasil paling jauh pun setakat mengheret riwayat sebagai tafsir pembantu bagi Mushaf Uthmani. Itu pun belum tentu diterima oleh ijma sebagai salah satu bacaan Uthmani. Jadi sebenarnya, serangan terhadap Mushaf Utsmani melalui jalan ini terlalu banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi hasilnya tidak seberapa.


Alford T. Welch yang menulis mengenai al-Quran dalam Encyclopaedia of Islam mendedahkan rasa putus asa para pengkaji Barat itu. Menurutnya, berbagai riwayat mengenai bacaan-bacaan yang telah mereka kumpulkan sekian lama itu tidak terlalu bermakna untuk menyerang Mushaf Uthmani.


Menyedari mereka telah gagal meruntuhkan al-Quran dengan jalan riwayat, kerana dijaga ketat oleh para ulama hadith, para orientalis itu jadi semakin berang. Kemudian dengan serta merta mereka menuduh bahwa riwayat-riwayat hadith yang mutawatir itu merupakan rekaan para ulama Islam.


Begitulah sikap mereka, bila gagal menyerang al-Quran, maka hadith yang menjadi sasaran. Dan bila gagal menyerang hadith, maka fiqah dan ilmu kalam pun akan mereka hentam. Bila gagal lagi, mereka menghentam dan memburu sejarah Islam yang luas dan panjang itu. Mereka memang tidak akan berhenti menyerang sumber-sumber Islam, baik secara halus maupun terang-terangan agar agama Islam menerima nasib yang sama seperti agama mereka.


Cara kedua yang mereka lancarkan adalah melalui penemuan-penemuan manuskrip. Misalnya yang dilakukan oleh Gerd R. Puin baru-baru ini. Ia mendakwa telah menemukan mushaf tua di Yaman yang konon mengandungi qira’ah yang lebih awal dari Qira’ah Tujuh yang terkandung dalam Mushaf Uthmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeza dengan Mushaf Utsmani.


Tujuan dakwaan itu adalah agar umat Islam yang membaca tulisannya menjadi keliru dan ragu sehingga menganggap bahwa al-Quran pada zaman sahabat itu satu sama lain saling berbeza-beza. Memang serangan melalui manuskrip lama ini lebih canggih dibandingkan dengan serangan melalui riwayat. Tapi, ketiadaan manuskrip yang mereka inginkan itu jadi masalah yang menghadang tujuan kajian mereka.


Maka, dengan penemuan manuskrip Yaman di atas, konon Puin ingin mengemukakan bukti bahwa riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Mushaf Uthmani itu bukan sekadar isu, tetapi fakta. Beliau turut mengkritik pernyataan Welch yang mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi para pengkaji Barat untuk menolak sumber-sumber hadith, sebab apa yang dinyatakan dalam banyak riwayat mengenai isu susunan surah-surah al-Quran adalah mendekati susunan Mushaf Uthmani.


Dengan modal penemuan manuskrip Sana’a di Yaman itu, pernyataan Welch di atas disindir dan diputarbalikkan oleh Puin. Ia merasa bahwa serangannya terhadap Mushaf Utsmani lebih ampuh menggunakan manuskrip dibanding melalui jalan riwayat yang merupakan jalan mati bagi para orientalis yang menggeluti bidang al-Quran.


Memang wajar bagi pengkaji Barat yang berlatar belakang tradisi Ahlul Kitab, Yahudi, dan Kristian, untuk melirik manuskrip lama sebagai senjata utama mereka. Ini kerana masalah agama mereka bersumber pada kitab suci mereka sendiri. Mereka ingin agar nasib al-Quran seperti nasib Taurat dan Injil. Mereka mahu agar kita juga masuk dalam kelompok Ahlul Kitab! Maha Benar Allah, dengan firman-Nya:


Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.“ (Al-Baqarah: 120)



Kita, kaum Muslimin, tidak perlu terlalu bimbang dengan serangan baru melalui manuskrip ini, karena kualiti manuskrip itu pada dasarnya sama dengan kualiti riwayat hadith. Sebuah hadith, yang bila dari segi isnadnya nampak sah, tetapi pengertian matannya bertentangan dengan hadith-hadith yang lebih kuat darjat kesahihannya, maka hadis tersebut dianggap syadz (menyimpang). Begitu pula nilai sebuah manuskrip al-Quran dan qiraah-nya. Kesahihan manuskrip maupun riwayat harus menjadi ukuran utama.


Puin mendakwa bahwa manuskrip Sana’a itu lebih tua dari sistem qiraah tujuh atau sepuluh, yang telah diakui mutawatir atau masyhur masing-masingnya oleh para ulama Islam. Kebetulan manuskrip itu mengandung qirah yang lebih banyak daripada qiraah tujuh, sepuluh atau empat belas seperti yang diuraikan dalam Mu‘jam al-Qira`at al-Quraniyyah.


Kita ingin mengatakan kepada Puin bahwa banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu sebenarnya tidak sahih. Karena apabila ia telah keluar dari qiraah 14 yang memuatkan bacaan ahad, boleh jadi bacaan-bacaan yang banyak itu hanyalah merupakan bacaan yang bernilai syadz (ganjil, menyimpang) ataupun mawdhu’‘ (palsu).


Bacaan-bacaan yang dikategorikan bernilai dha’if (lemah) seperti itu boleh jadi merupakan suatu kesalahan-kesalahan tulisan dalam manuskrip al-Quran yang ditulis secara individual oleh para penulis manuskrip, yang boleh jadi dalam keadaan mengantuk, letih, tidak profesional, dan lain-lain. Perlu disebutkan bahwa asal al-Quran adalah bacaan (qiraah) yang diperdengarkan, barulah tulisan (rasm) mengikutinya.


Prinsip yang disepakati adalah al-rasm tabi‘ li al-riwayah (tulisan teks mengikuti periwayatan). Kerana itu, faktor periwayatan secara rantaian lisan sangatlah penting. Hal itu telah dilakukan oleh para sarjana dan penghafal al-Quran yang berwibawa. Tetapi para orientalis ingin menyodorkan pemikiran mereka yang menyeleweng dengan mengatakan bahwa bacaan al-Quran mestilah mengikuti teks tulisan (rasm), sekalipun tulisan itu salah.


Patutlah nenek moyang mereka yang Ahlul Kitab itu tersesat sejak dahulu, kerana mereka hanya berpegang dengan teks tulisan dan telah kehilangan isnad dan sandaran yang kukuh dalam periwayatan kitab suci mereka. Mungkin sebab itu pula mereka dipanggil Ahlul Kitab, karena mereka itu memang, seperti kata Prof. Naquib al-Attas, bookist.


Para ulama Islam awal telah membezakab antara al-Quran dengan qiraah. Al-Quran adalah bacaan mutawatir yang diterima oleh keseluruhan umat Islam, dibaca dalam shalat,dan menolak bacaan itu adalah kufur. Manakala qiraah tidak demikian. Mereka juga telah meletakkan syarat-syarat penerimaan qiraah. Pembahagian qiraah yang kita sebutkan di atas menunjukkan kategori penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu qiraah. Oleh karena itu tidak semua qiraah dapat diterima. Kalaupun diterima, belum tentu bacaan itu dibenarkan untuk dibaca dalam shalat. Dan hal ini tidak berarti qiraah tersebut tidak bermakna, karena fungsi bacaan itu masih boleh membantu dalam ilmu tafsir. Jadi penemuan Puin mengenai banyak terdapatnya qiraah dalam manuskrip itu mungkin sekali termasuk qiraah-qiraah yang dha’if , yang tidak akan diterima para ulama.


Agaknya Puin tidak begitu mengindahkan tiga rukun utama yang mesti dipenuhi agar setiap qiraah itu boleh diterima. Rukun-rukun yang telah disepakati itu adalah: pertama, qiraah mestilah sesuai dengan tata bahasa Arab, walaupun itu hanya dari satu pengertian (wajh); kedua, qiraah mesti juga sesuai dengan salah satu dari Mushaf Uthmani, walaupun itu hanya dari segi kemungkinannya (ihtimal); dan ketiga, qiraah juga mesti sah sanad periwayatannya. Apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka qiraah tadi dianggap dha’if (lemah), syadzh (ganjil) atau batil.


Menurut Ibnu al-Jazari, ketentuan itu adalah sahih di mata para pengesah (pentahqiq), baik di kalangan ulama salaf (ulama di masa awal) ataupun khalaf (ulama yang terkemudian). Uraian terperinci terhadap ketiga rukun itu terdapat dalam kajian ‘Ulum al-Quran. [www.hidayatullah.com]

Tuesday, May 5, 2009

Weather Modification ... masya Allah



I can't remember exactly which channel I was wacthing on Astro last night and that was the first time that I heard of 'weather modification'. May be others who are more knowledgeable than me have heard of this term and are well-versed about it. Surprisingly the meteoroloy expert was talking about controlling the cyclone before it moves further inland and developed into a typhoon of potential hazard. It looks creative and convincing. Since the cyclone develops from the accumulation of water evaporation from the sea and gains energy with the increasing amount of water vapours formed in its way, they came with the idea of discouraging the formation of more clouds before it upgrade itself into a typhoon. One way is to spread a kind substance over the surface of the sea and block more evaporation to happen. By that way, the already accumulated vapours of the cyclone will break dan disappear. The expert is of the opinion that if we selectively do that for good reason, it's like making one odd decision out of 1000 that will only give small effect to the whole weather system.

All this while I have only heard of cloud seeding as a way human intervened with the raining 'schedule'. That is as far as I know of intentional interference on the weather while contributions of gas emmission from human activities are mostly out of control and done for ignorance of the actual impacts.

Being not in this field, I consider this degree of human involvement with the weather change as very, very daring and could even lead to arrogance in encountering the power of God. Yes, the intention is good as such step could save more lives before disaster comes. I am thinking of the whole weather system and its impact in the long run. As someone who have full faith in God's wisdom, I believe that the atmosphere has its own schedule of maintaining the weather for the goodness and well-being of the earth and its inhabitants. Humans are merely guessing. I believe that the accumulation of such small interference with the system will actually contribute to the long-term instability of the weather and the ripple effect on the life on this planet could be more disastrous. Who knows that could results in megastorms in the future. Just predicting ! Don't be too serious about it.

Getting ready for evacuation, building stronger homes, erecting high-tech buildings, hiding in shelters or the like, to me is still the better option instead of challenging the divine wisdom. It reminds me of the tragedy of Firaun and Qarun who thought their power, knowledge and wealth could prolong their life and defy the fate.

New Knowledge :
In the Middle Ages, Abbas Ibn Firnas invented an artificial weather simulation room in which spectators saw and were astonished by stars, clouds, artificial thunder, and lightning which were produced by mechanisms hidden in his basement laboratory.[Imamuddin, S. M. (1981), Muslim Spain 711-1492 A.D., ]

May Allah save us from the dominion of the syaitan ...

RAS