Wednesday, May 13, 2009

Mencabar Keutuhan Rasm Uthmani

Cara-cara serangan terhadap Mushaf Uthmani

Oleh: Dr. Ugi Suharto *


Hidayatullah.com--Untuk menyerang dari sisi periwayatan, mereka terpaksa menggunakan senjata ulumul hadith agar riwayat yang awalnya tertolak dapat diterima kembali. Ulama hadith tentu tidak berdiam diri, kerana sejak dahulu mereka memang telah memberi sumbangan besar dalam menjaga keutuhan al-Quran. Kerana mushaf ini disandarkan pada riwayat yang mutawatir, serangan ini tidak akan mampu merosak Mushaf Uthmani. Apalagi usaha mereka melalui cara ini paling jauh hanya mampu mengangkat kedudukan riwayat syadz (yang menyimpang) menjadi ahad. Itupun dengan syarat riwayat itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran Mushaf Utsmani lainnya.


Kalau usaha itu berhasil paling jauh pun setakat mengheret riwayat sebagai tafsir pembantu bagi Mushaf Uthmani. Itu pun belum tentu diterima oleh ijma sebagai salah satu bacaan Uthmani. Jadi sebenarnya, serangan terhadap Mushaf Utsmani melalui jalan ini terlalu banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi hasilnya tidak seberapa.


Alford T. Welch yang menulis mengenai al-Quran dalam Encyclopaedia of Islam mendedahkan rasa putus asa para pengkaji Barat itu. Menurutnya, berbagai riwayat mengenai bacaan-bacaan yang telah mereka kumpulkan sekian lama itu tidak terlalu bermakna untuk menyerang Mushaf Uthmani.


Menyedari mereka telah gagal meruntuhkan al-Quran dengan jalan riwayat, kerana dijaga ketat oleh para ulama hadith, para orientalis itu jadi semakin berang. Kemudian dengan serta merta mereka menuduh bahwa riwayat-riwayat hadith yang mutawatir itu merupakan rekaan para ulama Islam.


Begitulah sikap mereka, bila gagal menyerang al-Quran, maka hadith yang menjadi sasaran. Dan bila gagal menyerang hadith, maka fiqah dan ilmu kalam pun akan mereka hentam. Bila gagal lagi, mereka menghentam dan memburu sejarah Islam yang luas dan panjang itu. Mereka memang tidak akan berhenti menyerang sumber-sumber Islam, baik secara halus maupun terang-terangan agar agama Islam menerima nasib yang sama seperti agama mereka.


Cara kedua yang mereka lancarkan adalah melalui penemuan-penemuan manuskrip. Misalnya yang dilakukan oleh Gerd R. Puin baru-baru ini. Ia mendakwa telah menemukan mushaf tua di Yaman yang konon mengandungi qira’ah yang lebih awal dari Qira’ah Tujuh yang terkandung dalam Mushaf Uthmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat berbeza dengan Mushaf Utsmani.


Tujuan dakwaan itu adalah agar umat Islam yang membaca tulisannya menjadi keliru dan ragu sehingga menganggap bahwa al-Quran pada zaman sahabat itu satu sama lain saling berbeza-beza. Memang serangan melalui manuskrip lama ini lebih canggih dibandingkan dengan serangan melalui riwayat. Tapi, ketiadaan manuskrip yang mereka inginkan itu jadi masalah yang menghadang tujuan kajian mereka.


Maka, dengan penemuan manuskrip Yaman di atas, konon Puin ingin mengemukakan bukti bahwa riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Mushaf Uthmani itu bukan sekadar isu, tetapi fakta. Beliau turut mengkritik pernyataan Welch yang mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi para pengkaji Barat untuk menolak sumber-sumber hadith, sebab apa yang dinyatakan dalam banyak riwayat mengenai isu susunan surah-surah al-Quran adalah mendekati susunan Mushaf Uthmani.


Dengan modal penemuan manuskrip Sana’a di Yaman itu, pernyataan Welch di atas disindir dan diputarbalikkan oleh Puin. Ia merasa bahwa serangannya terhadap Mushaf Utsmani lebih ampuh menggunakan manuskrip dibanding melalui jalan riwayat yang merupakan jalan mati bagi para orientalis yang menggeluti bidang al-Quran.


Memang wajar bagi pengkaji Barat yang berlatar belakang tradisi Ahlul Kitab, Yahudi, dan Kristian, untuk melirik manuskrip lama sebagai senjata utama mereka. Ini kerana masalah agama mereka bersumber pada kitab suci mereka sendiri. Mereka ingin agar nasib al-Quran seperti nasib Taurat dan Injil. Mereka mahu agar kita juga masuk dalam kelompok Ahlul Kitab! Maha Benar Allah, dengan firman-Nya:


Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.“ (Al-Baqarah: 120)



Kita, kaum Muslimin, tidak perlu terlalu bimbang dengan serangan baru melalui manuskrip ini, karena kualiti manuskrip itu pada dasarnya sama dengan kualiti riwayat hadith. Sebuah hadith, yang bila dari segi isnadnya nampak sah, tetapi pengertian matannya bertentangan dengan hadith-hadith yang lebih kuat darjat kesahihannya, maka hadis tersebut dianggap syadz (menyimpang). Begitu pula nilai sebuah manuskrip al-Quran dan qiraah-nya. Kesahihan manuskrip maupun riwayat harus menjadi ukuran utama.


Puin mendakwa bahwa manuskrip Sana’a itu lebih tua dari sistem qiraah tujuh atau sepuluh, yang telah diakui mutawatir atau masyhur masing-masingnya oleh para ulama Islam. Kebetulan manuskrip itu mengandung qirah yang lebih banyak daripada qiraah tujuh, sepuluh atau empat belas seperti yang diuraikan dalam Mu‘jam al-Qira`at al-Quraniyyah.


Kita ingin mengatakan kepada Puin bahwa banyaknya qiraah yang terdapat dalam manuskrip itu sebenarnya tidak sahih. Karena apabila ia telah keluar dari qiraah 14 yang memuatkan bacaan ahad, boleh jadi bacaan-bacaan yang banyak itu hanyalah merupakan bacaan yang bernilai syadz (ganjil, menyimpang) ataupun mawdhu’‘ (palsu).


Bacaan-bacaan yang dikategorikan bernilai dha’if (lemah) seperti itu boleh jadi merupakan suatu kesalahan-kesalahan tulisan dalam manuskrip al-Quran yang ditulis secara individual oleh para penulis manuskrip, yang boleh jadi dalam keadaan mengantuk, letih, tidak profesional, dan lain-lain. Perlu disebutkan bahwa asal al-Quran adalah bacaan (qiraah) yang diperdengarkan, barulah tulisan (rasm) mengikutinya.


Prinsip yang disepakati adalah al-rasm tabi‘ li al-riwayah (tulisan teks mengikuti periwayatan). Kerana itu, faktor periwayatan secara rantaian lisan sangatlah penting. Hal itu telah dilakukan oleh para sarjana dan penghafal al-Quran yang berwibawa. Tetapi para orientalis ingin menyodorkan pemikiran mereka yang menyeleweng dengan mengatakan bahwa bacaan al-Quran mestilah mengikuti teks tulisan (rasm), sekalipun tulisan itu salah.


Patutlah nenek moyang mereka yang Ahlul Kitab itu tersesat sejak dahulu, kerana mereka hanya berpegang dengan teks tulisan dan telah kehilangan isnad dan sandaran yang kukuh dalam periwayatan kitab suci mereka. Mungkin sebab itu pula mereka dipanggil Ahlul Kitab, karena mereka itu memang, seperti kata Prof. Naquib al-Attas, bookist.


Para ulama Islam awal telah membezakab antara al-Quran dengan qiraah. Al-Quran adalah bacaan mutawatir yang diterima oleh keseluruhan umat Islam, dibaca dalam shalat,dan menolak bacaan itu adalah kufur. Manakala qiraah tidak demikian. Mereka juga telah meletakkan syarat-syarat penerimaan qiraah. Pembahagian qiraah yang kita sebutkan di atas menunjukkan kategori penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu qiraah. Oleh karena itu tidak semua qiraah dapat diterima. Kalaupun diterima, belum tentu bacaan itu dibenarkan untuk dibaca dalam shalat. Dan hal ini tidak berarti qiraah tersebut tidak bermakna, karena fungsi bacaan itu masih boleh membantu dalam ilmu tafsir. Jadi penemuan Puin mengenai banyak terdapatnya qiraah dalam manuskrip itu mungkin sekali termasuk qiraah-qiraah yang dha’if , yang tidak akan diterima para ulama.


Agaknya Puin tidak begitu mengindahkan tiga rukun utama yang mesti dipenuhi agar setiap qiraah itu boleh diterima. Rukun-rukun yang telah disepakati itu adalah: pertama, qiraah mestilah sesuai dengan tata bahasa Arab, walaupun itu hanya dari satu pengertian (wajh); kedua, qiraah mesti juga sesuai dengan salah satu dari Mushaf Uthmani, walaupun itu hanya dari segi kemungkinannya (ihtimal); dan ketiga, qiraah juga mesti sah sanad periwayatannya. Apabila salah satu rukun itu tidak terpenuhi, maka qiraah tadi dianggap dha’if (lemah), syadzh (ganjil) atau batil.


Menurut Ibnu al-Jazari, ketentuan itu adalah sahih di mata para pengesah (pentahqiq), baik di kalangan ulama salaf (ulama di masa awal) ataupun khalaf (ulama yang terkemudian). Uraian terperinci terhadap ketiga rukun itu terdapat dalam kajian ‘Ulum al-Quran. [www.hidayatullah.com]

No comments: