Oleh:
Dr.
H. Shobahussurur, M.A.
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai
unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru, supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa
binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir". Q.S. al-Hajj/22: 27-28.
Ibadah haji merupakan ibadah yang terpadu di dalamnya taklifah
mâliyyah (pengorbanan harta), ibâdah jasadiyyah (pengabdian fisik),
dan ibâdah rûhiyyah (pengabdian spiritual) kepada Allah. Pengorbanan
harta, karena orang yang berangkat haji harus mengeluarkan biaya perjalanan,
tempat tinggal dan lain-lain yang tak sedikit belanjanya. Pengabdian diri secara fisik, kerana selama dia menjalankan ibadah haji, terdedah pada cuaca ekstrim, sama ada terlalu sejuk atau terlalu panas di Tanah Haram. Kerumunan manusia yang sangat banyak menyebabkan seseorang seringkali terpaksa panjang, berhimpit-himpit, dan menyesakkan. Maka
tubuh yang sihat dan kuat diperlukan supaya mampu melaksanakan serangkaian
ritual haji. Pengabdian diri secara spiritual, kerana setiap muslim yang melaksanakan haji
harus memulai ibadahnya dengan tulus ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Selama
di Tanah Suci dia harus memperbanyakkan amalan batin dengan zikir, istighfar, tahlil,
tahmid, takbir, serta membersihkan hati sebersih-bersihnya. Rangkaian ibadah
haji mencerminkan miniatur rangkaian hidup kita yang menyatu di dalamnya aspek
material dan spiritual, lahir dan batin. Banyak pelajaran yang sangat berharga
dalam perjalanan ke Tanah Suci.
Risalah Tauhid
Ritual
haji merupakan amalan ibadah yang tidak dapat lepas dari sejarah Nabi Ibrahim
a.s.. Hampir semua rukun dan wajib haji yang dilakukan jama’ah haji berkaitan
dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim, bersama keluarganya. Ibadah
Sa'i mengikuti jejak pengalaman Siti Hajar, isteri Ibrahim, yang mencari air
untuk putera tercintanya, Ismail (Q.S. al-Baqarah/2: 158). Ibadah melontar jumrah
mengikuti pengalaman Ibrahim ketika diganggu syaitan dalam melaksanakan perintah
Allah. Menyembelih binatang qurban meneladani pengalaman Ibrahim a.s. yang
diperintahkan untuk berkurban (Q.S. al-shafât/37: 107).
Ibrahim
a.s. dikenal sebagai Bapak para nabi, dan Bapak monoteisme, serta “proklamator
keadilan Ilahi”. Semua agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam merujuk kepada
beliau. Tentang kebesaran sosok Ibrahim a.s., Abbas Muhammad Aqqad menulis:
“Penemuan
yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang
terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan. Penemuan
Ibrahim tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau
rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut,
... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan
raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada
alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang
itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini
tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi
jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak
diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan
makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ...”
Itulah
penemuan tentang hakikat Tuhan. Dia adalah Tuhan Yang Esa sang Pencipta
sekaligus Pemelihara alam semesta serta isinya. Kepastian yang diperlukan
ilmuwan berkaitan dengan hukum-hukum dan sistem alam ini, tak dapat diperolehnya
kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monoteisme itu. Sebab segala
kepastian itu menjadi lenyap dan hancur bila ada penemuan yang mengatakan alam
ini diatur oleh banyak tuhan.
Dengan
demikian monoteisme Ibrahim a.s. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar,
tapi sekaligus pengasas akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti
lagi, dan lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim a.s. bukan
sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seluruh jagat
raya, Tuhan yang immanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia,
menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau
ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat
kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya
Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau
yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara
universal.
Ajaran
Ibrahim a.s. atau “penemuan” beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru
dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu
yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta
pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim
bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5,000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan
antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang
kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.
Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya
seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah
sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan
kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut
atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah
yang ditetapkan-Nya. "Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Q.S. Ali Imrân/3: 26.
Maka
semua jama'ah haji ketika melaksanakan ibadah haji, meneguhkan kembali tentang
prinsip-prinsip tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim yang
meliputi: 1). Pengakuan Keesaan Tuhan,
serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa
patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari
Allah. 2). Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini,
yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3)
Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam
kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar
mereka dalam hal-hal lainnya.
Keyakinan
akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia
dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka
diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.. Dalam firman-Nya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49
13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan
keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
Haji dan Pengurbanan
Ritual
haji sangat sarat dengan nilai pengurbanan. Ia juga menegaskan tentang
cara-cara pengurbanan yang benar. Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu
masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara
kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya
dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim
as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban,
tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail
diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun --bila
panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah
perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan
kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan
domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka
praktik pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin
besar pengurbanan semakin besar kemungkinan cita-cita itu dapat diraih. Begitu
pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk
mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah,
mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih cita-cita
meneguhkan kalimah tauhid, meneguhkan al-dîn al-hanîf (agama yang
lurus), dan mensejahterakan manusia lahir dan batin, sebagaimana tersebut dalam
doanya: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman,
dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”.
(Q.S. Ibrâhîm/14: 35). Doanya pula: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.
(Q.S. al-Baqarah/2: 126). Doa-doanya itu dikabulkan Allah karena tidak sekedar
diucapkan melalui kata-kata, tapi didahului dengan besarnya pengurbanan yang
dilakukan.
Hakekat kurban bukan pada
benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima
materi kurban yang kita persembahkan. Nilai kurban bukan pada besar kecil
barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat taqwa yang
dimiliki oleh orang yang berkurban. Firman Allah: “Daging-daging (binatang
korban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (Q.S. al-Hajj/22:
37). Pengorbanan yang besar sekalipun akan menjadi sia-sia, tidak berguna dan
tidak diterima apabila tujuannya bukan karena cinta dan kesetiaan kepada Allah,
tapi hanya ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi seperti, sanjungan
dan pujian dari orang lain.
Dalam simbolik kurban, Allah
mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama.
memilih binatang sembelihan yang terbaik, unta yang sehat dan gemuk misalnya,
meskipun sapi, kambing juga dibolehkan. Kedua, memulai menyembelih
dengan memperbanyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa.
Kemudian mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang
disembelih. Hadits Rasulullah Saw.: ”Jika kamu hendak menyembelih, maka
perbaikilah cara menyembelihmu”. Ketiga, daging yang disembelih itu
dibagi-bagi tidak dimakan sendiri. Allah berfirman: ”dan telah Kami jadikan
untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan
yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya
dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati),
Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami
telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Q.S. al-Hajj/22: 36
Bila kurban itu dalam
syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti:
kambing, sapi, kerbau, atau unta, maka kurban itu seharusnya dikembangkan dalam
pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang
ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha saja. Ummat Islam
dituntut untuk melatih diri agar mengorbankan apa saja yang dimiliki, dalam
rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah, guna membangun kepentingan agama,
meningkatkan solidaritas ummat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan,
dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.
Haji
Miniatur Kehidupan
Setiap orang yang menjalankan ibadah haji, memulai dengan
memakai pakaian ihram putih bersih, bermula dari miqat menuju ke satu titik
yaitu Ka'bah. Memulai dalam keadaan suci bersih dan mengakhiri dalam keadaan
suci bersih. Kita memulai kehidupan ini juga dari putih bersih (fithrah)
tanpa salah dan dosa dan diharapkan dapat mengakhiri kehidupan ini dengan putih
bersih pula. Walau berbagai tantangan dan ujian mencoba memperdayakan, namun
kita harus tetap waspada menjaga kesucian diri. Allah berfirman: "Sungguh
beruntung orang yang berhasil mensucikan jiwa, dan sungguh merugi orang yang
mengotorinya". Q.S. Al-Syams/91: 9-10
Tak
dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur’an
berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya.
Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau
profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di
Miqat Makani, di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan
pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.
Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua
merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. “Di Miqat ini apa pun ras dan sukumu
lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang
melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan),
anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan
penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia
yang sesungguhnya.
Di
Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana
yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini,
seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya
oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta
pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain,
kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Dengan
dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku
ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan
menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi
memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin
mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian,
bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia
bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan
adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya
masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa
adanya.
Ka’bah
yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di
sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan
Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang
konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan
Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran
bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau
status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk
menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari
keterbelakangan menuju peradaban.
Ketika
thawaf keliling Ka'bah, kita mulai dari jarak yang paling jauh. Sedikit demi
sedikit kita berkeliling semakin dekat kepada Ka'bah. Proses yang kita lakukan
selama berkeliling tidak mudah, karena yang melakukan thawaf jumlahnya sangat
banyak, puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kita harus berdesak-desakan,
berhimpit-himpitan, bahkan ada yang melakukan thawaf di lantai dua atau tiga,
karena mathâf (tempat thawaf) sangat padat. Dalam kehidupan kita
sehari-hari, sejatinya kita sedang melakukan thawaf (berkeliling) menuju ke
satu titik, yaitu Allah SWT. Selama berkeliling menuju Allah, berbagai
rintangan dihadapi. Problema hidup silih berganti menghimpit hingga tak jarang
terpental menjauh dari titik pusat. Godaan duniawi sering menjauhkan kita dari
Allah, menjadi lupa diri, lantas memperturutkan hawa nafsu. Oleh karenanya,
hendaknya kita melakukan thawaf (keliling) dalam kehidupan ini sejalan dengan
aturan yang ditentukan oleh Sang Khaliq. Tidak menentang, melawan, atau
meninggalkannya. Dilakukan secara serentak, tidak egois, untuk kepentingan
bersama, bukan kepentingan pribadi, tidak ada ucapan-ucapan keji, kotor, atau
pertengkaran, sebagaimana yang terlukis dalam ibadah haji, falâ rafatsa wa
lâ fusûqa wa lâ jidâla fi al-hajj (maka tidak ada ucapan kotor, keji, dan
permusuhan selama dalam ibadah haji, Q.S. al-Baqarah/2: 197).
Maka dalam hidup ini diperlukan upaya yang terus menerus
(sa'î) agar dapat menjalankan roda kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim, dalam kisahnya, berupaya (sa'î)
mendapatkan air untuk anaknya, Ismail, berlari-lari antara bukit Shafa dan
Marwah. Usaha mendapatkan air pada akhirnya tidak sia-sia, karena Allah
memancarkan air yang kelak disebut dengan air Zamzam. Keyakinan yang mesti
ditanamkan ke dalam hati setiap muslim adalah bahwa setiap usaha yang tulus dan
sungguh-sungguh, pasti membawa hasil, langsung atau tidak langsung. "Dan
barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang
yang usahanya dibalasi dengan baik". Q.S. al-Isrâ'/17: 19.
Pada saatnya kemudian, setelah berkeliling berusaha
dengan susah payah dalam hidup, seorang mukmin mengetahui sejatinya hidup
(Arafah), darimana dia hidup, untuk apa dia hidup, dan kemana ia kembali.
Sebagaimana perenungan yang dilakukan setiap haji yang sedang bermunajat di
Arafah, merasakan ketentraman dan ketenangan bersama Allah di alam terbuka
Padang Arafah, maka setiap mukmin menjalin hubungan yang erat dengan Allah
hingga merasa selalu mengetahui Tuhannya. Apabila secara kasat mata dia tidak
sanggup mengetahui-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihatnya.
Pada akhirnya, ibadah haji bukan sekejar ritual tahunan
yang hanya menghabiskan biaya besar. Tapi mestinya membawa dampak positif bagi
lingkungan sekitar. Haji tidak hanya selesai di bulan-bulan haji. Pengaruhnya
menembus batas berbagai pelapisan sosial hingga diluar musim haji, meluluhkan
hati mereka yang sombong dan congkak, meningkatkan kebersamaan dan
kedermawanan, mengangkat kemiskinan dan kebodohan, dan menjalin hubungan akrab
di kalangan masyarakat yang majemuk. Bila hal itu yang dapat dilakukan sepulang
melaksanakan haji, maka orang yang berhaji akan menyandang predikat haji
mabrur, laisa lahum jazâ' illa al-jannah (tiada balasan baginya
melainkan surga baginya). Orang-orang yang mabrur itu digambarkan oleh
Rasulullah Saw. memiliki ciri-ciri antara lain: ith'âm al-tha'âm (memberi
makan) kepada orang yang kelaparan, dan thib al-kalâm (baik budi dan
tutur katanya). Mereka adalah manusia dermawan yang gerak dan ucapannya membawa
kesantunan, kasih sayang dan kedamaian bagi semua.
Jakarta, 07 Oktober 2011
Penulis
Dr. H. Shobahussurur, M.A.
No comments:
Post a Comment